Olahraga lari kini bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan telah menjelma menjadi bagian dari gaya hidup urban. Fenomena ini tidak hanya menciptakan budaya baru, tetapi juga membuka peluang ekonomi bagi pelaku industri kreatif, khususnya fotografer jalanan yang cermat melihat celah cuan dari balik lensa kamera mereka.
Booming Event Lari di Kota-Kota Besar
Dalam beberapa tahun terakhir, event lari semakin masif digelar di berbagai kota besar di Indonesia. Mulai dari marathon berskala nasional, fun run bertema gaya hidup, hingga trail running yang menantang alam, semua menyedot ribuan peserta dari berbagai kalangan—dari pelari pemula hingga atlet profesional.
Menurut data dari Strava, partisipasi pelari dalam komunitas dan klub lari di Indonesia naik hingga 83% sepanjang tahun 2024. Tak hanya itu, Garmin mencatat 5,56 juta aktivitas lari, jauh melampaui aktivitas jalan kaki yang hanya mencapai 2,35 juta aktivitas. Ini menandakan bahwa tren lari bukan hanya hype sesaat—tapi telah menjadi habit masyarakat urban modern.
Fotografer, Penangkap Momen dan Pemburu Cuan
Di tengah ledakan tren ini, muncul profesi baru yang tak kalah dinamis: fotografer olahraga jalanan. Para fotografer ini tidak sekadar membidik kamera, mereka memburu momen, menangkap ekspresi, dan menghadirkan narasi visual yang kuat dari setiap pelari.
Salah satu fotografer independen, Joko Siswanto, mulai menekuni profesi ini sejak masa pandemi. Dengan tarif sekitar Rp100 ribu per foto, ia mampu meraup pendapatan hingga puluhan juta rupiah per bulan, terutama saat tren sepeda dan lari melonjak drastis.
Namun, dengan makin menjamurnya fotografer di event lari, pasar menjadi semakin kompetitif. Joko mengaku bahwa kini penghasilannya mulai menurun, karena banyaknya fotografer baru yang turut meramaikan pasar dengan berbagai strategi harga.
Sementara itu, fotografer lain, Rizkiananda Chinta Cheppy, tetap optimistis. Dalam satu event seperti Bogor Run (11 Mei 2025), ia mampu menjual 60 foto dengan tarif Rp50 ribu per foto, menghasilkan pendapatan Rp3 juta dalam sehari—sebuah nilai yang cukup menjanjikan untuk event satu hari.
Antara Etika dan Ekspektasi Sosial Media
Meski menjanjikan secara ekonomi, profesi fotografer olahraga jalanan juga menghadapi kritik. Beberapa pelari merasa privasinya terganggu karena diambil gambarnya tanpa izin, terutama saat mereka sedang tidak dalam kondisi terbaik.
Menanggapi hal ini, fotografer dari Kendari, Frans Patadungan, mengusulkan solusi praktis: pelari dapat memberikan isyarat tangan berbentuk “X” untuk menolak difoto atau menyampaikan langsung ke fotografer di lapangan. Pendekatan ini dinilai lebih komunikatif dan mengedepankan kenyamanan kedua pihak.
Momentum Baru Ekonomi Kreatif Olahraga
Fenomena ini menunjukkan bahwa event olahraga kini tidak hanya menjadi ruang kompetisi atau rekreasi, tetapi juga arena baru bagi industri kreatif lokal. Profesi fotografer, videografer, hingga desainer konten memiliki potensi untuk berkembang jika mampu merespons tren gaya hidup ini secara adaptif.
Untuk para fotografer, tantangannya kini bukan hanya tentang kecepatan menangkap momen, tetapi juga membangun ekosistem yang etis, profesional, dan berkelanjutan. Dengan manajemen yang tepat, mereka bukan hanya “pengambil gambar”, melainkan kurator visual gaya hidup masyarakat modern. (xvgp)